Rabu, 13 Mei 2009

KDRT sebuah analisa

A. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga

1. Pengertian ditinjau dari bahasa

Sebelum mengartikan makna kekerasan dalam rumah tangga penulis memisahkan kata kekerasan dan rumah tangga.

Kekerasan menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah : kekerasan berasal dari kata keras yang berarti paksaan, pada umumnya kata keras mempunyai bermacam – macam arti yang menyatakan sifat atau hal yang sangat atau lebih dari keadaan biasa yang mengharuskan, memaksa, tidak lemah lembut, tidak mengenal belas kasihan. Namun yang dimaksud disini ialah keras dalam artian paksaan. Adapun menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud penganiayaan adalah “Tindakan sewenang – wenang atau melakukan perbuatan yang bengis seperti penyiksaan dan penindasan”. Pengertian anggota rumah tangga atau keluarga sendiri menurut kamus besar Bahasa Indonesia dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Ibu bapak dan anak – anaknya.

2. Ibu atau bapak dengan anak –anaknya.

3. Ibu dan bapak.

Sedangkan kekerasan menurut kamus politik adalah : tindakan – tindakan yang menggunakan kekuatan fisik dan / atau ancaman untuk memaksakan kehendak pada pihak yang tidak mau menurut.

Rumah tangga sendiri menurut kamus umum bahasa Indonesia ialah : bangunan untuk tempat tinggal. Jadi dari beberapa pengertian - pengertian di atas penulis menyimpulkan makna kekerasan dalam rumah tangga ialah suatu tidakan dalam bangunan tempat tinggal atau dalam lingkup rumah tangga yang sifatnya memaksa yang menggunakan ancaman fisik dan / atau acaman untuk melakukan hal dan kehendak pada pihak yang lemah.

2. Ditinjau dari pendapat para pakar

Kekerasan dalam suatu rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT) akhir - akhir ini ramai dibicarakan orang. Sebagai fenomena sosial akan dipelajari dengan pendekatan multidisipliner yang dilatarbelakangi oleh beberapa pemikiran dan aturan hukum, Sukiat (Psikolog) dalam buku berjudul “Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, mengatakan bahwa tindak kekerasan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota rumah tangga terhadap anggota lainnya, yang menyebabkan rasa sakit yang berlebihan baik secara fisik maupun emosional dan kadangkala merusak tubuh serta kehidupan kejiwaannya.[1]) Selanjutnya Hasbianto dalam bukunya “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Potret Muram Kaum Perempuan Dalam Perkawinan”, menyebutkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu bentuk penganiayaan (abuse) secara fisik maupun emosional / psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga ada 4 macam jenis sebagai berikut.

  1. Kekerasan seksual

a. Memaksa melakukan hubungan seksual

b. Memaksa selera seksual sendiri

c. Tidak memperhatikan kepuasan pihak istri

  1. kekerasan fisik

a. Memukul / menampar

b. Meludahi

c. Menjambak

d. Menendang

e. Menyulut dengan rokok

f. Memukul / melukai dengan barang / senjata

3. Kekerasan ekonomi

a. Tidak memberikan uang belanja

b. Memakai / menghabiskan uang istri

4. Kekerasan emosional

a. Mencela, menghina

b. Mengancam / menakut – nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak

c. Mengisolasi istri dari dunia luar.[2])

Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Merujuk kepada penganiayaan terhadap anak ataupun orang dewasa, juga antara suami istri, tanpa memperhatikan jenis kelamin ataupun pelakunya.[3])

Tiap anggota rumah tangga mempunyai potensi menjadi subyek dalam tindak kekerasan itu. Teristimewa sekali bagi mereka yang mempunyai :

Ø Kepribadian inmatur (kurang matang)

Ø Tendensi agresif dan tidak mampu memodifikasi dorongan agresifnya.

Ø Gangguan kejiwaan.

Sedangkan kemungkinan menjadi obyek kekerasan pada umumnya adalah anggota rumah tangga yang terlemah, baik sebagai obyek langsung maupun sebagai obyek pengganti. Dan di samping itu anggota rumah tangga yang menduduki posisi tergantung pada anggota rumah tangga yang lainnya.

Nani Yamin dalam buku yang berjudul “Kekerasan dalam Rumah Tangga, suatu kajian dan Usaha - usaha Penanggulangannya di LKBHUKW”, melengkapi pemahaman kita terhadap pemikiran yang berkaitan dengan tindak kekerasan. Beliau mengatakan bila kita mendengar istilah kekerasan, maka yang segera terbayang dalam benak kita adalah tindakan – tindakan yang menimbulkan bekas secara fisik. Kita sering melupakan bahwa kekerasan sesungguhnya jauh lebih luas daripada sekedar tindakan fisik itu. Berbagai tingkah laku yang sering muncul dalam rumah tangga seperti memaki dengan kata – kata kasar, penyelewengan suami atau istri, tidak mau bertanggung jawab terhadap keluarga, termasuk pula dalam kategori kekerasan yang sifatnya psikis dan sosial.[4])

Menurut Ross Poole dalam bukunya “Moralitas dan Modernitas : di Bawah Bayang – bayang Nibilisme”, dari segi situs terjadinya, kekerasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada arena publik. Pada umumnya, relasi sektor domestik lebih bersifat atruistik dan ada faktor keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dari setiap anggota keluarganya dibandingkan dengan relasi yang terjadi pada sektor publik. Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan, meskipun dilakukan disektor publik, misalnya seorang suami memukul istri di pasar, kekerasan tersebut dikategorikan sebagai kekerasan domestik. Sebaliknya, bila kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan, meskipun dilakukan di dalam rumah, maka dikategorikan kekerasan publik.[5]) Terkecuali apa yang disebutkan dalam pasal 2 (dua) ayat 1 (satu) huruf c dan Pasal 2 (dua) ayat 2 (dua) Undang - Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

3. Ditinjau dari hukum pidana

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari hukum pidana Indonesia termasuk dalam buku ke 2 (dua) tentang kejahatan bab XX dari pasal 351 sampai dengan 358 (KUHP). Kekerasan dalam rumah tangga dimaksud disini ialah penganiayaan, sedangkan penganiayaan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Indonesia adalah “barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak meyakiti atau melukai badan orang lain”.Tindakan penganiayaan dilihat dari segi hukum pidana meskipun itu dilakukan di tengah keluarga oleh orang tua kepada anak – anaknya atau sebaliknya dan juga penganiayaan yang dilakukan suami terhadap istrinya atau istri terhadap suaminya adalah merupakan tindakan yang dapat dihukum sesuai dengan pasal – pasal penganiayaan yang terdapat dalam hukum pidana.

Penganiayaan dalam keluarga sebagai fakta hukum dan fakta sosial terjadi karena berbagai motif.

Motif pendisiplinan terhadap keluarga yang melanggar aturan atau melalaikan kewajibannya. Di samping itu terjadi pula untuk menguasai dan memaksakan kehendaknya sendiri terhadap keluarganya, misalnya memaksa minta uang untuk membayar kalah judi atau untuk main judi dan lain – lain. Penganiayaan dalam rumah tangga pada hakekatnya adalah kejahatan yang walaupun motivasinya benar, namun cara melaksanakan dengan melakukan penganiayaan yang merupakan kejahatan adalah salah. Penganiayaan dalam rumah tangga, sesuai dengan bentuk keluarga inti yang tumbuh pada zaman modern dapat terjadi dengan berbagai bentuk, sebagai berikut :

  1. Suami menganiaya istri, misalnya memukul, menyiksa, bahkan ada pula yang membunuh. Penganiayaan oleh suami dapat terjadi karena motif pendisiplinan terhadap istrinya yang menyeleweng, memberikan sangsi hukum secara menghakimi sendiri atau mungkin karena suami terlanjur menyeleweng atau berpoligami. Untuk menghilangkan tekanan - tekanan terhadap dirinya atau untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, sehingga melakukan penganiayaan terhadap istrinya.
  2. Istri menganiaya suami, misalnya istri menganiaya suaminya dengan memukul (karena istri jago beladiri), menganiaya dengan alat atau tanpa alat, misalnya istri memotong alat kelamin suaminya, membakar, membunuh dengan alat senjata tajam, racun dan sebagainya. Motivasi penganiayaan oleh istri terhadap suaminya dapat terjadi karena suami menyeleweng, suami kawin lagi atau suami main gila dengan perempuan lain, suami tidak menafkahi keluarga, suami suka minum - minuman keras, atau istri merasa yang berperan dominan dan / atau berpenghasilan lebih dari suami dalam memberikan nafkah terhadap keluarga, atau justru istri takut ketahuan menyeleweng dangan laki – laki lain atau memang istri ingin menikah dengan lelaki lain.
  3. Orang tua menganiaya anak.

Motivasi penganiayaan karena berbagai hal. Karena orang tua (ibu atau ayah) ingin kawin lagi padahal calon pasangannya tidak menyukai anak tirinya, karena ingin melepaskan diri dari beban ekonomi yang berat. Atau sebab yang lain karena anak tidak mau menurut pada orang tua kandungnya atau orang tua tiri, sehingga orang.

  1. Anak menganiaya orang tua.

Penganiayan ini dapat terjadi karena anak ingin memaksa memaksa kehendaknya untuk mendapatkan uang atau harta dari orang tuanya. Seperti misalnya anak menganiaya orang tuanya gara – gara tidak diberi uang untuk membeli minuman keras, atau anak menganiaya orang tuanya gara – gara pembagian harta yang tidak adil dan lain sebagainya.

Apabila berproses dalam lapangan hukum pidana maka penganiayan dalam lingkup rumah tangga dapat dituntut di depan pengadilan dan dapat dihukum sesuai dengan hukum pidana yang berlaku. Menurut kitab undang – undang hukum pidana Indonesia.

Sedangkan pasal yang mengatur tentang penganiayaan dalam keluarga ialah pasal 356 ayat 1, yang merupakan alasan pemberatan penjatuhan hukuman dari pasal 351, 353, 354 dan 355 yaitu dengan ditambah sepertiga.

Pasal 356 ayat 1 Kitab Undang – undang Hukum Pidana berbunyi sebagai berikut : “Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga :

Ayat 1, bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya.”

Pasal 351 dari Kitab Undang – undang Hukum Pidana berbunyi sebagai berikut :

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana paling lama tujuh tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 dari Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang mengatur tentang penganiayaan yang direncanakan,berbunyi sebagai berikut :

1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun.

2) Jika perbuatan mengakibat luka – luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama delapan tahun.

Pasal 354 dari Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang mengatur tentang penganiayaan berat, berbunyi sebagai berikut :

1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355 dari Kitab Undang - Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang penganiayaan berat yang direncanakan, berbunyi sebagai berikut :

1) Penganiayaan berat yang dilakuakan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun,

2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Dapat disimpulkan di sini bahwa penganiayaan keluarga sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 356 ayat 1 adalah merupakan penganiayaan yang pidananya lebih berat dari pada penganiayaan yang direncanakan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan penganiayaan berat yang direncanakan.

4. Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan

Ditinjau dari segi Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tindakan penganiayaan dalam rumah tangga jelas sangat berlawanan dengan prinsip - prinsip yang harus ditegakkan dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa.

Hal ini sesuai dengan bab I tentang dasar Perkawinan, pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang : Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, bukannya saling membenci dan bermusuhan di antara mereka dalam keluarga.

Membicarakan penganiayaan dalam rumah tangga ditinjau dari Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sangat berkaitan dengan kedudukan suami istri dan anak – anak mereka dalam rumah tangga.

Mengenai kedudukan suami istri dalam rumah tangga tercantum dalam bab VI tentang hak dan kewajiban suami istri (pasal 30, 31, 33, dan 34 Undang – undang Nomor 1 tahun 1974), dan bab X mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (pasal 45 dan 46 UU Nomor 1 tahun 1974).

Pasal 30 : “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”.

Pasal 31 :

1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

2) Masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;

3) Suami adalah Kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Pasal 33 : “Suami istri wajib saling cinta mencintai hormat – menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.

Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa antara keduanya harus saling menghargai satu sama lain dan cinta - mencintai, hormat - menghormati dan menjauhkan diri dari sifat kekerasan. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri suami itu sendiri, istri tidak boleh menuntut segala sesuatu di luar kemampuan suami.

Mengenai kedudukan orang tua terhadap anak – anaknya dalam rumah tangga tercantum dalam bab X mengenai hak dan kewajiban orang tua dan anak (pasal 45 dan 46 UU Nomor 1 tahun 1974).

Pasal 45 :

1) Kedua orag tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka sebaik - sebaiknya;

2) Kewajiban orang tua yang dimaksaud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46 :

1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik;

2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Dari bunyi pasal 45 ayat 1 dan 2 terlihat adanya kewajiban orang tua untuk mendidik dan memelihara anak - anaknya sebaik - baiknya sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri. Mendidik dan memelihara tersebut bukan diartikan dengan cara kekerasan dan kekejaman melainkan sesuai dengan norma – norma hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan walaupun kekerasan tersebut dimaksud untuk memberikan pelajaran terhadap si anak tersebut, tetapi apabila menimbulkan luka berat, cacat atau bahkan sampai meninggalnya anak tersebut akan menimbulkan dilanggarnya norma – norma hukum tersebut di atas.

Salah satu bentuk akibat penganiayaan adalah terjadinya perceraian yang pada umumnya gugatan datang dari pihak istri. Adanya keberanian istri mengajukan gugutan cerai karena penganiayaan suami, oleh Undang - Undang perkawinan memberikan hak bagi istri yang diperlakukan secara kejam oleh suaminya untuk minta cerai. Hal ini dipertegas oleh dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 tahun1974 tentang perkawinan dalam pasal 19 huruf d menyatakan bahwa; “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain”, adalah merupakan salah satu alasan untuk mengadakan perceraian.

5. Ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT

Dalam Undang - Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, bab 1 pasal 1 ayat (1) menyebutkan kekerasan dalam rumah tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 ayat (1) lingkup rumah tangga dalam Undang - Undang ini adalah :

a. Suami, istri dan anak.

b. Orang - orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuh dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Ayat (2) orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Larangan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam bab III pasal 5 yang berbunyi “setiap orang yang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

  1. Kekerasan fisik
  2. Kekerasan psikis.
  3. Kekerasan seksual atau
  4. Penelantaran rumah tangga.

Pasal 6 kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi :

  1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
  2. Pemaksaan hubungan seksual tehadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.

Pasal 9 ayat (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal nenurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Ayat (2) penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Sedangkan ketentuan pidana terhadap penganiayaan dalam lingkup rumah tangga menurut Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam bab VIII pasal 44 sampai dengan pasal 50. Pasal 44 ayat (1) setiap orang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Ayat (2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana degan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Ayat (3) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Ayat (4) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari –hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat ) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 45 ayat (1) setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Ayat (2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari – hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 46 setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 47 setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48 dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya fikir atau kejiwaan sekurang – kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut – turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh ) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 49 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) ;

b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2).

Pasal 50 selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

  1. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak – hak tertentu pelaku.
  2. Penetapan pelaku mengikuti program konsling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Sedangkan hak - hak korban diatur dalam bab IV pasal 10. Kewajiban pemerintah dan masyarakat diatur dalam bab V pasal 11, 12, 13, 14, 15. Perlindungan korban diatur dalam bab VI pasal 16 sampai 38 Adapun untuk pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam bab VII pasal 39 sampai 43. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama terhadap korban diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Upaya tersebut merupakan amanat dari pasal 43 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa penganiayaan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindakan kejahatan terhadap martabat manusia yang ancaman hukumannya cukup berat, tindakan penganiayaan yang dilakukan di tengah - tengah keluarga, oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dan yang dilakukan oleh kedua atau salah satu orang tua terhadap anak – anak mereka maupun orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, baik dengan maksud mendidik atau memberi pelajaran dan mendisiplinkan apabila menimbulkan luka – luka atau meninggalnya si teraniaya maka hal ini tetap merupakan tindakan yang dapat dihukum sesuai dengan pasal – pasal penganiayaan yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Oleh sebab itu penganiayaan dalam lingkup rumah tangga harus menjadi perhatian khusus pemerintah maupun oleh kalangan ahli hukum praktisi dan masyarakat luas.



[1]) Ibid., Hal 4

[2]) Sri Meiyenti, op., cit., Hal 6 – 7

[3]) Mohamad Hakimi, dkk. 2001. Membisu dalam Harmoni (Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia). LPKGM-FK-UGM, Yogyakarta. Hal 3

[4]) Achmad Ubbe, op., cit., Hal 5

[5]) Siti Dzuhayatin Ruhaini dan Susi Yuarsi Eja. 2002. Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik. Kerjasama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dengan Ford Foundation, Yogyakarta. Hal 7 - 8